Titik Bukan Muara

Sekali lagi, Frer. Layaknya setitik tinta yang jatuh di danau. Mulanya titik hitam itu yang dilihat, lalu kemudian menyatu dengan air. Hilang, dan semua kembali. Ritme yang berulang. Tidak pernah mencapai titik.
Masih ada setumpuk cerita. Tapi ceritamu selalu lebih mengesankan, Frer. Lebih  tepatnya, caramu mengemasnya. Tentang tenda di dalam rumah, masak popmie, ganti popok, adu makanan, semuanya.
Temaram lampu bulat kuning berjajar mengantar ke jelan utama kota ini. Cukup melalui dua jalan utama dan dua lampu lalu lintas untuk sampai tujuan. Tapi pagi itu, kita memutar. Memasuki kota, mengambil jalur yang lebih jauh. Persis, ini jalan yang sering dilewati. 
Udara masih sangat segar. Dingin, Frer. Matahari masih belum muncul. Hanya pendaran lampu penerang jalan yang bersaing dengan tebalnya kabut. Satu per satu terbesit, Frer. Pita merah, ‘foto ini bagus’, sinden, wayang, durian, dan setiap inchi yang menyertai.
Semua ini mengalir. Kadang kering, tersendat, bahkan tidak terbendung. Tanpa tau muara. Adakah muara?
Timbul kala kemarau, tenggelam kala penghujan. Seutas yang tidak kunjung bertemu simpul, ada rasa tidak berujung. Belum ingin berakhir, menghilang pelan-pelan, atau pergi meninggalkan serakan imaji tak bertuan ini.
 Purwokerto, 1-11-2012

Komentar