Ahmad Tohari : Para Priyayi Politik

20 Juli 2014
Selamat pagi, 
Hari Minggu yang cukup menggalaukan bagi kita, apalagi kalau bukan soal pilpres.
Headline Kompas pagi ini tentang hasil rekapitulasi sementara perolehan suara.
Di tengah banjir informasi, pihak satu bilang benar, dua pun bilang benar. 
Semua bilang berdasarkan 'sumber kebenaran masing-masing'.
Yang satu sudah nyembelih sapi, yang dua sudah sujud syukur.
Cepatlah datang tanggal 22 Juli !

Hmm, halaman-halaman berikutnya dibuka, senada dengan headline yaitu soal rekapitulasi suara.
Ditambah beberapa berita jelang mudik lebaran dan artikel tentang teknologi perang (strategi militer). 
Sejauh itu, belum ada artikel yang saya baca tuntas.
Hanya sedikit melotot pada halaman full advertisement diskon lebaran~
Masuk di halaman 12, ada sosok sastrawan, budayawan, penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari. Sesama orang Banyumas, suka sekali dengan novelnya dan sempat beberapa kali bertemu dengan Beliau membuat saya selalu tertarik dengan apapun tentang Ahmad Tohari. Penasaran juga apa yang Beliau lakukan saat-saat ini dan bagaimana tanggapan penulis yang selalu resah ini soal pilpres. Di rubrik Persona, Ahmad Tohari angkat bicara tentang 'Para Priyayi Politik'.

Para priyayi lahir dari sifat-sifat kemaruk. Terheran-heran, dendam pada biografi kemiskinan, lalu menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan dan kekayaan. Kini para priyayi itu dilahirkan oleh instrumen demokrasi bernama Pemilu.

 Begitu paragraf tersebut diawali. Mengawali simpul kegundahan Beliau. Semakin tua, menikmati hari-hari dengan tenang, ternyata di dalam dirinya tetap meletup bersungut-sungut merutuk kerusakan mental generasi muda.
Bung Karno, kata Tohari, pernah mengatakan, "Untuk melumpuhkan satu bangsa tak perlu menurunkan pasukan tentara, tetapi lumpuhkan mental anak mudanya," katanya.
Menurutnya, anak muda saat ini pragmatis, bercita-cita hidup happy, tetapi tidak mau bekerja keras. Korban dari penanaman mimpi lewat televisi. Dulu, belajar tuntutan moral dari wayang dengan sastranya. Tuntunan moral dari agama, pada kita sudah jatuh jadi sekadar ritus. Tidak lagi berfungsi sebagai penanam dan pembentuk nilai keadaban. Seorang anak petani, yang karena sekolah kemudian bisa jadi guru, dia akan merasa menjadi priyayi karena bekerja dengan balpoint dibandingkan dengan anak petani yang bekerja dengan pacul. Lapisa priyayi itu luar biasa tebal di negara kita.

Sampai di paragraf ini, saya jadi merenung. Ya, saya pun anak muda, mahasiswa tingkat akhir di fakultas pertanian yang kepingin bekerja sebagai profesional atau pegawai negeri -kerja dengan balpoint. Setuju soal tuntutan moral. Keluarga jelas penuntun moral utama, terutama orang tua. Sejauh ini, orang tua saya sangat menjunjung tinggi nilai moral. Kejujuran, sederhana, kerja keras, yaa khas egaliter orang Banyumas.

Hari ini, saya diajak orang tua berkunjung ke rumah embah. Sudah 3 bulan tidak kesana. Alih-alih minta doa mau ujian akhir, sambil reflektif, menelusuri tuntunan moral orang tua yang tentu berasal dari embah..Embah seorang petani. 2 orang anaknya jadi guru, 1 bidan, 1 kadus (bekerja dengan bolpoin). Hanya beberapa yang bukan. Namun sikapnya antara anak yang satu dengan yang lain tetap sama. Tetap diajarkan nilai keadaban yang sama. Walaupun bedanya, jaman dahulu,  tetap ada teguran fisik jika anaknya berbuat salah.

Empat anak perempuannya berkumpul hari ini. Ibuku, bude (kakak ibu), dan dua lilik (adik ibu). Mengenang masa-masa kecilnya lalu dibandingkan dengan anak sekarang. Dulu keras mendidik anak perempuan. Ahmad Tohari pun menuturkan soal perempuan Banyumas, tidak dituntut sebagai perempuan gemulai. Tetapi perempuan yang bisa bekerja cepat. Cepat bekerja di sawah untuk menghidupi keluarga. Hmm, benar juga, anak perempuan embah semuanya rajin, cekatan, dan pandai mengatur rumah tangga. *belum tentu bisa begitu cucu-cucunya.

Kepada semua anaknya, yang pertama ditanya selalu 'bagaimana anakmu (cucuku)?'. Terutama kepada anak perempuannya. Berkarier tidak menjadi tuntutan embah, meskipun sekarang ini banyak wanita menganggap ibu-ibu karier merasa lebih mulia hidupnya dibanding ibu rumah tangga. Ibuku pun pernah merasa begitu. Tidak jarang pula saya cerita soal teman yang sebenarnya anak baik, tetapi kok bisa melencong kelakuannya. Sederhana, saya butuh teman berdiskusi. Dan beruntung sekali, ibu enak banget diajak berdiskusi. Figur terdekat yang mengantongi tuntunan moral anaknya.

Nasehat mbah hari ini pun, seperi oase bagi anak muda yang cetek pondasi moralnya ini.
Sederhana saja,

'Sing penting dadi wong jujur, apik karo liya, nek dialani, tetep mbales apik, apa-apa kuwe gusti Alloh sing paring'
Hmm, satu nilai pertama, kejujuran. Betapa berat di masa sekarang ini. Jujur kepada orang tua soal nilai atau bayaran kuliah saja berat. Kedua, apik karo liya atau baik dengan orang lain. Menuruti perintah orang tua saja kadang suka lalai, ya?. Ketiga, nek dialani, tetep mbales apik atau jika orang lain bersikap tidak baik, kita tetap harus membalas kebaikan. Mudahkan di jaman #nomention dan twitwar?. Terakhir, bahwa segala yang kita miliki saat ini, pemberian Allah SWT. Kurang seminggu belum punya baju lebaran pun resah?

Embah sudah 85 tahun. Menjadi tuntunan moral bagi kedua belas putranya. Alhamdulillah sehat dan tetap asyik diajak ngobrol. Selalu bersyukur dan tidak henti-hentinya mendoakan anak, cucu, dan saudara-saudara.

Kembali ke artikel Ahmad Tohari. Beliau pun memilih untuk kembali ke pangkuan keluarganya ketika Ia memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai editor di Jakarta ketika anak sulungnya duduk di bangku kuliah dan anak bungsunya SD. Kelima anaknya kini sukses terdidik dengan baik, 2 diantaranya meraih gelar PhD di luar negeri. Rasa syukur tiada henti karena setelah 40 tahun ditulis, novel Di Kaki Bukit Cebalak anak diterbitkan ulang dan tetap menghasilkan royalty.

Ahmad Tohari kini sedang menulis novel keempat dari rencana tetralogi. Sudah enam bulan ditulis, tapi Beliau merasa itu jelek. Terlalu penuh dengan kemarahan. Novel ini rencana melanjutkan G30SPKI yang belum usai.

'Sebelum saya mati, saya ingin lampiaskan kemarahan saya, nah jelek kan? Saya kesulitan menulis novel terakhir ini. Terlalu banyak mengumbar kemarahan dan berpikir mungkin novel ini dianggap tidak cocok dengan siatuasi. Saya sangsi kalau anak muda sekarang mengenal tanaman padi atau kedelai, misalnya'.

Dikutip dari paragraf terakhir, seperti ini.

Dulu generasi saya belajar tuntunan moral dari wayang. Mungkin harus dicarikan media populer yang bisa menjadi wahana bagi anak-anak muda untuk belajar. Film saya kira salah satu produksi kebudayaan massa yang bisa dijadikan wahana. Tetapi, Anda tahu kan, mutu film-film kita. Silakan jawab sendiri. Berhentilah bermimpi jadi priyayi, yang cuma akan merasa lebih bermartabat dari kaum rakyat jelata. Feodalisme yang dihasilkan oleh proses politik ini juga harus dihentikan. Munculkan sifat-sifat egaliter, jujur, rendah hati, demokratis, perasaan senasib sepenanggungan. Cuma itu cara menegakkan keadaban. Tak usah jauh dari istana, kementerian, atau partai, cukup mulai dari lingkup terkecil : keluarga !

Minggu, 20 Juli 2014 (21:47)


 

Komentar