Dua jempol gajah saya berikan bagi aparat penggiat film-film lokal panginyongan yang terus menghasilkan karya-karya indie. Konsistensi untuk tetap mempertahankan nilai kedaerahan masih terjaga. Walau banyak film berkibar dengan tema komedi, horror dengan corak remaja metropolitan, para CLC tetap bersikukuh mengibarkan film mereka sendiri dan mengambil jalannya sendiri.
Berawal dari seorang pria tambun bergaya khas seniman asal Purbalingga, dengan ide dan cita-cita yag tinggi untuk menganka daerahnya. Lahirlah pergerakan film Purbalingga. Geliat perfilman Purbalingga kemudian perlahan disebarkan menuju kota tetangga yang penuh kawula muda, Purwokerto. Hingga kemudian merambah ke kota Cilacap dan Banjarnegara. Dengan berbekal kekayaan daerah setempat yang berakar dari kesederhanaan, mulai bermunculan film-film pendek di karesidenan Banyumas dengan Puralingga sebagai porosnya.
Masih terdapat pengaruh film-film ibukota dalam ide film tertama yag dibuat oleh pelajar SMA, khususnya di Purwokerto seperti film berjudul bumi masih berputar yang diproduksi oleh Brownie film SMA Negeri 2 Purwokerto.
Pergerakan ini bisa dibilang berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) karena hingga saat ini belum terlihat ketertarikan apalagi upaya dari pemerintah untuk mendukung geliat perfilman banyumas dan sekitarnya. Padahal film merupakan salah satu media informasi sebagai ajang promosi yang paling kuat pengaruhnya di masyarakat. Contoh saja Pulau Belitong dalam novel yang difilmkan berjudul “Laskar Pelangi” sekuel pertama dari Tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andre Hirata.
Pemerintah nampaknya kurang menyadari peluan ini dan mungkin dikhawatirka dapat mengusik kebebasan berkarya dari para penggiat film. Jadilah penggiat film bergerak sendiri. Kesadaran generasi muda untuk melestarikan budayanya juga ditumbuhkan melalui film-film pendek panginyongan ini. Karena dalam penyampaiannya, sebagia besar film ini menggunakan dialog berbahasa jawa khas Banyumas atau lebih sering disebut ‘bahasa ngapak’. Nilai-nilai daerah berupa sopan sntun, kesederhanaan, guyub , dan berbagai nilai-nilai arif lain banyak diugkapkan di sebagian film-film indie dan menjadi ciri khas dari film indie Purbalingga. Ciri khas ini lah yang menjadi nilai istimewa film panginyongan saat bersanding bersama film indie di kota lain terutama kota besar seperti Yogyakarta, Bandung dan Jakarta yang kebanyakan bercorak modern.
Kesederhanaan ide cerita yang diangkat tidak menguragi apresiasi masyarakat pecinta film indie. Seperti beberapa film unggulan diantaranya Sendhal Jepit, Nyarutang, Sekitar Midnight, Lastri, Gajian, Superhero, Perang Bubar, dan Ndhog. Film-film yang diputar dalam acara “Layar Tanjleb” di lapangan Grendeng pada hari Sabtu, 9 Oktoer 2010 pukul 19.30 – 23.30.
Masyarakat cukup antusias dengan pemutaran film ini. Karena ceritanya akrab dengan keseharian mereka dan pengambilan gambar beberapa film berlokasi di sekitar kampus Universitas Jenderal Soedirman. Acara layar Tanjleb ini diharapkan mampu membangkitkan budaya lampau yang kini mulai meluntur yaitu menonton film bersama di satu tempat terbuka atau biasa kita kenal dengan layar tancep. Berasal dari layar yang dientangkan dengan bambu sebagai bingkai layar dan ditancapkan ke dalam tanah.
Kebiasaan ini mulai luntur seiring kemajuan teknologi untuk menikmati film di rumah seperti DVD player, vcd player, dan computer. Tetapi ada nilai yang didapatkan saat menikmati film degan layar tancep. Yaitu selain layarnya lebar, suasana alam pun menjadi sahabat kita dan kebersamaan adalah yang terpenting.
Kurangya dana menjadi salah satu ganjalan kurang berkembangnya teknologi yag digunakan dalam proses pembuatan film. Bagaimana tidak, dana yang diperoleh untuk pembuatan film jika tidak berasal dari iuran si pembuat film sendiri adalah hasil memenangi festival. Potensi film indie untuk dikembangkan pun terbilang tinggi. Karena terbukti film indie panginyongan dapat merambah festival film internasional. Semoga aku punya kesempatan emas untuk mecicipi proses pembuatan film indie. Amin.
Komentar
Posting Komentar