*Ditulis dari materi yang disampaikan Nezar Patria (Dewan Pers)
Industrialisasi Media
Media
saat ini digerakkan oleh hukum pasar. Kualitas media dan rambu-rambu menjadi
kurang diperhatikan untuk bersaing mendapatkan pembaca, penonton dan pendengar.
Media televisi menggunakan sumberdaya frekuensi yang terbatas antara 88-105Mhz
maka perlu peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi tayangan
televisi.
Media
berfungsi untuk mengakomodasi kepentingan publik, bukan sebaliknya. Survey A.C. Nelson
mengungkapkan populasi konsumsi informasi sebesar 93 persen
melalui televisi. Internet 34 persen, dan koran 27 persen. Konsumsi
informasi melalui media cetak menunjukkan penurunan signifikan sejak 10 tahun
terakhir akibat munculnya internet yang menyediakan informasi secara
digital.
Konsumsi
informasi digital terus meningkat. Indonesia merupakan
pasar
luar biasa untuk berita internet. Pengguna internet tumbuh 30 persen
setiap tahunnya. Berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia
(APJII) tahun 2013, terdapat 80 juta pengguna internet
yang didominasi oleh usia muda rentang 18-27 tahun sebesar 60
persen. Pertumbuhan media secara online memfasilitasi penggguna
internet usia muda yang bersifat dinamis. Di media sosial Facebook, pengguna di Indonesia mencapai 53 juta
pengguna. Cara mengkonsumsi informasi menjadi berubah.
Independensi dan Netralitas Media
Jurnalisme menjadi
berada
di persimpangan jalan. Kini warga dapat menjadi produsen berita dengan
mengambil
gambar suatu peristiwa, kemudian melakukan wawancara dan
menyuntingnya. Ketika warga tersebut menjadi saksi
satu-satunya, berita tersebut akan mendunia. Hal tersebut disebut jurnalisme warga.
Jurnalisme yang profesional tiba-tiba agak guncang.
Pada saat seperti
itu, independensi dan netralitas media berada pada satu
titik baru. Seperti keluar dari mulut buaya lalu masuk ke mulut
singa. Pers setelah keluar dari cengkeraman rezim penguasa kini masuk ke dalam
industri media yang dikuasai pasar. Tetapi jurnalisme tetap jurnalisme karena
ada
hukum
yang harus dipatuhi.
Di
sosial media pun ada hukum sosial yang berlaku seperti ketika menuliskan status
twitter
ataupun facebook, para followers ingin informasi yang berkualitas. Pemilik
akun yang menjadi produsen berita dituntut bekerrja dengan standar tertentu
khususnya menulis berdasarkan fakta yang aktual. Terjadi evolusi dari amatir ke
professional. Seperti contoh Huffington Post di New
York, Amerika Serikat. Media tersebut bermula dari sebuah blog milik seorang
sosialita yang memiliki link dengan blog lain milik orang-orang penting di
negara tersebut. Blog tersebut menuliskan ulasan
berbagai topik hangat dengan mengundang ahli politik, ekonomi, budaya dan
sebagainya. Jumlah pengunjungnya terus bertambah dan blog tersebut
dituntut pembaca untuk melakukan liputan hingga kini berkembang menjadi
Huffington Post.
Apapun
bentuk sebuah media, prinsip yang harus dijaga yaitu kepercayaan atau trust untuk
memenuhi kredibilitas berdasarkan etik. Independensi termasuk dalam
etik yaitu Kegiatan jurnalistik tanpa campur tangan pemilik atau kekuatan lain yang mengatur isi
media. Sedangkan prinsip netralitas akan
menghasilkan liputan yang akurat, proprsional, jujur
dan berimbang serta memihak kepentingan publik. Media harus berpihak pada
kepentingan publik yang besar dan dirugikan. Seperti
pada kasus lumpur lapindo, media harus berpihak pada kepentingan masyarakat
Sidoarjo yang dirugikan akibat meluapnya lumpur akibat pengeboran PT. Lapindo
Brantas.
Media
terdiri dari dua entitias yaitu penerbit dan pembaca. Hanya
media yang menyajikan informasi secara benar dan akurat yang
dapat
dipercaya lalu setia dibaca oleh pembaca. Media yang tidak independen dapat merusak trust atau kepercayaan dan akhirnya ditinggalkan pembacanya.
-Forum Diskusi Nasional - Jurnalist Day BOE Ekonomika FE UI 2014-
Komentar
Posting Komentar